Senin, 05 Juni 2017

UAS Bahasa Indonesia Profesi

Inter-Relasi:
A  : Toleransi
B  : Penodaan Agama
C  : Perpecahan Umat
D  : Pancasila

Pokok Pikiran di Paragraf:
1.   Toleransi di Indonesia masa kini
2.   Pilkada DKI Jakarta menuai kontroversi
3.   Pernyataan Basuki Tjahaja Purnama dan penodaan agama
4.   Organisasi Islam sebagai penggerak aksi massa
5.   Perpecahan antar umat beragama
6.   Pesan perdamaian untuk Indonesia
7.   Pancasila sebagai khazanah toleransi Indonesia

Pancasila sebagai Khazanah Toleransi Indonesia

Topik yang cukup ramai diperbincangkan di Indonesia kini adalah toleransi, yaitu sikap saling menghormati dan membiarkan orang lain untuk melakukan peribadatan sesuai yang dianutnya. Toleransi adalah sikap yang mudah diucapkan dan sulit dilaksanakan jika masih ada tekanan massa pada golongan tertentu. Hal ini merupakan buntut dari persinggungan dari tokoh publik kepada umat beragama mayoritas di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta yang memicu ketegangan antar umat beragama. Sebagai Ibukota Indonesia, bisa dipastikan menjadi sorotan berita utama di pelosok negeri apalagi terkait masalah perbedaan agama. Dimana konflik-konflik horizontal dalam dan luar agama mulai bermunculan satu persatu karena perbedaan tafsir dan pendapat dari masing-masing golongan.

Akhir tahun 2016 dan awal tahun 2017 adalah masa kampanye Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak beberapa daerah di Indonesia, termasuk DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat mencalonkan diri lagi sebagai calon gubernur dan wakil gubernur resmi DKI Jakarta saat itu. Mereka juga digadang-gadang sebagai kandidat terkuat di Pilkada Jakarta. Sebelumnya, kepemimpinan Ahokpun dinilai kontroversi dengan kebijakan-kebijakannya yang tegas untuk menata Jakarta. Banyak warga yang memprotes dan menghujatnya, namun tidak sedikit pula yang mendukungnya dari kalangan warga maupun selebriti tanah air. Pilkada Jakarta menjadi kiblat pemberitaan tanah air saat itu, dikarenakan Ahok telah menang pada pilkada tahap satu dan membuat ketegangan massa non-pemilih Ahok semakin panas. Hal ini membuat ketar-ketir massa yang mendemo Ahok karena persinggungan agama yang telah dilakukan kepada umat muslim.

Ahok ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi tak lama setelah demo besar pada 4 November 2016. Perkara ini ditindaklanjuti karena tekanan massa yang sangat besar. Sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama dalam acara sosialisasi budidaya ikan kerapu di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 menyatakan pernyataan yang dinilai kontroversial. “Jadi enggak usah kepikiran, kalau Ahok enggak kepilih, ah, pasti programnya bubar. Saya sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang. Jadi dalam hati kecil Bapak-Ibu enggak bisa milih saya, dibohongi pakai Al-Maidah ayat 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak-Ibu, ya,” ujar Ahok. Terlepas dari tepat atau tidaknya pernyataan dalam acara gubernur tersebut, Ahok sebagai tokoh publik dinilai bersalah oleh mayoritas warga muslim Jakarta, bahkan tanah air. Ahok yang beragama Kristen Protestan ini menyinggung Surah Al-Maidah ayat 51 yang termaktub dalam kitab suci agama Islam yakni Al-Qur’an. Pasalnya, pengetahuan Ahok terkait apa yang diucapkannya terkait Al Maidah 51 itu minim sekali, sehingga memicu kemarahan warga muslim di Jakarta. Warga Jakarta bersitegang setelah munculnya video pernyataan Ahok yang diunggah ke media sosial oleh pemilik akun Buni Yani. Kasus penodaan agama ini menjadi perbincangan hangat yang mengiringi Pilkada DKI Jakarta.
            
Front Pembela Islam (FPI) menjadi garda terdepan dalam kasus penodaan agama ini. Mereka begitu antusias dan menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Basuki Tjahaja Purnama. Organisasi massa yang dipimpin oleh Muhammad Rizieq Shihab ini sebagai motor penggerak aksi 2 Desember 2016 atau Aksi Bela Islam yang menuntut Ahok dipenjarakan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pun ikut mengibarkan bendera khilafahnya, mereka juga memiliki andil dalam Aksi Bela Islam ini.  Adanya jarak antar agama mulai terasa, kata-kata seperti kafir, pemimpin kafir, dan intoleran mudah disematkan bagi yang ikut berkoar-koar di media sosial dan realitasnya. Penyebaran berita hoax mulai bermunculan dan menjadi sumber fitnah kian menjadi. Media sosial digunakan sabagai hakim instan untuk menuduh dan menjatuhkan reputasi seseorang atau agama tertentu. Sikap toleransi di Indonesia mulai dilunturi oleh masyarakat Indonesia sendiri, seperti peribahasa karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
            
Demonstrasi Aksi Bela Islam semakin diperkuat, antusiasme demonstran untuk membela Al Qur’an dan Islam kian menjadi-jadi. Pihak pendukung Ahok yang non-muslim pun ikut melakukan protes karena tuduhan penodaan agama yang ditujukan kepada Basuki Tjahaja Purnama. Tagar #PenjarakanAhok dan #SaveAhok di media sosial menjadi sekat pemisah antara keharmonisan beragama di Jakarta, bahkan tanah air. Merenggangnya hubungan antar agama di Jakarta kian kentara, caci maki dan fitnah keji menjadi makanan sehari-hari media sosial. Tidak justru saling bertoleransi, namun tuduhan-tuduhan intoleran kepada netizen atau tokoh publik tertentu menimbulkan perpecahan antar umat beragama. Agama memang masalah sensitif jika dibahas, apalagi terkait masyarakat Jakarta yang mayoritas beragama Islam, namun dipimpin oleh seorang non-muslim. Sudah dipastikan akan terjadi ketegangan antar umat beragama apabila salah satunya menyakiti hal fundamental agama yang lain.
            
Jakarta adalah Ibukota Negara Indonesia, sudah sewajarnya ia menjadi panutan bagi daerah-daerah yang lain sebagai wilayah yang paling beragam penduduknya di antara daerah lain. Jakarta adalah jujugan para perantau yang ingin mencari pekerjaan, melakukan penelitian, berwisata, dan menuntut ilmu. Peristiwa sekecil apapun yang terjadi di Jakarta akan sangat mudah menyebar ke pelosok negeri. Masyarakat melihat toleransi di Jakarta haruslah tinggi karena hampir seluruh orang dari setiap daerah di Indonesia ada disitu. Agama Islam, Kristen Katholik, Kristen Protestan, Hindu, Buddha, dan Konghuchu, Suku Batak, Suku Betawi, Suku Jawa, Suku Sunda, dan Suku Bugis ada di Jakarta, bahkan menjadi penduduknya. Perpecahan yang terlanjur terjadi haruslah disatukan kembali, mencoba keluar kotak untuk melihat keragaman di luar haruslah dilakukan. Jangan sampai perang saudara terjadi karena sama saja membunuh keluarga sendiri. Layaknya Timur Tengah sekarang, hanya karena perbedaan golongan dalam satu agama sudah menjadi peperangan yang tak kunjung usai padahal mereka bersaudara. Hal itulah yang tidak diinginkan di Indonesia, dimulai dari toleransi dan menghargai kebebasan berekspresi adalah hal dasar untuk menghormati orang lain. Memaafkan kesalahan orang lain adalah hal yang baik dan saling tolong-menolong dalam kebaikan tanpa memandang golongan tertentu harus dibudayakan. Setiap agama mengajarkan kebaikan, jika ada suatu kesalahan maka yang salah adalah individunya, bukan agamanya.

            
Toleransi dan gotong royong antar umat beragama baik di Jakarta maupun daerah lain di Indonesia harus ditegakkan. Tidak menilai mana ajaran yang benar dan yang salah, namun bagaimana sebagai bangsa yang bermoral untuk menghormati hak asasi manusia yang lain. Indonesia punya landasan ideologi yakni Pancasila, pada lima sila yang ada menghantarkan jalan dan tujuan bangsa Indonesia demi kehidupan bersama yang beradab. Pancasila memiliki semboyan yaitu Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua, hal ini menggambarkan keadaan di Indonesia yang multikultur, multiagama, multibahasa, dan lain sebagainya. Tidak ada alasan untuk tidak saling menolerir keberadaan saudara sebangsa dan setanah air. Selama masih menjadi penduduk Indonesia, apapun golongan, ras, dan agamanya, ia tetap memiliki harga diri sebagai bangsa Indonesia.